Sekretariat : Jalan RE. Martadinata No. 162 Baregbeg - Ciamis

Senin, 25 Mei 2009

Pilih Capres (Siapa?) Yang Peduli Guru/Sukwan

"Jangan menghayal dong. Kepres saja belum rampung ditanda tangani gimana mau di cairkan. Jika dipikir-pikir ini hanya akal-akalan pemerintah aja. Masa tanda tangan saja berbulan-bulan" (Ibu Anis)-Majalah Komunitas Jakarta

Kekawatiran Ibu Anis diatas tidaklah berlebihan. Mengingat tenggat waktu warning Menkeu terhadap persoalan pencairan anggaran tunjangan profesi guru (TPP) sudah didepan mata. Sementara, presiden yang saat ini juga menjadi capres lebih sibuk mengkampanyekan diri untuk terpilih kembali pada pilpres 8 Juli 2009 mendatang.

Masih ingat kontroversi Surat Edaran (SE) Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam suratnya bernomor S-145/MK05/2009 tertanggal 12 Maret 2009 lalu, soal Pembayaran TPP Guru dan Dosen baik PNS maupun Non PNS pada Depdiknas dan Depag, diberi waktu hingga akhir Juni 2009 agar PP dan Perpres mengenai TPP belum ditetapkan. Jika PP dan Perpres itu belum juga ada, maka TPP untuk sementara dihentikan atau ditunda.

Bahkan yang lebih fatal, ancaman SE itu apabila sampai akhir tahun 2009 ini, PP dan Perpres itu belum juga ditetapkan, maka TPP yang terlanjur dibayarkan akan dipotong secara bertahap dari gaji guru yang bersangkutan sesuai ketentuan.

Ketentuan yang dimaksud adalah berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1977 tentang Pengaturan Gaji PNS, Pemberian Tunjangan PNS Tertentu (termasuk seperti Tunjangan Profesi Guru dan Dosen tersebut).

Apa, sikap pemerintah saat itu? Mendiknas misalnya menyikapi SE Menkeu dianggap sebagai warning kepada Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas agar segera menyelesaikan peraturan hukum sebelum dikucurkan anggaran. Dengan penyelesaian ke-3 payung hukum tersebut (PP Guru, PP Dosen dan Perpres), Bambang menilai sudah tidak ada masalah terhadap pemberian tunjangan terhadap guru dan dosen.

Mendiknas menambahkan bahwa Surat Menkeu itu semangatnya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian PP tentang dosen, Perpres tentang Tunjangan Profesi, bahkan juga Perpres tentang Tunjangan Kehormatan Guru Besar.

Mensesneg Negara Hatta Rajasa juga mengaku bahwa isu akan dihentikannya tunjangan sertifikasi guru adalah tidak benar dan seluruh tunjangan guru dan dosen baik PNS maupun Non PNS tetap akan berjalan serta tidak ada penundaan, terutama TPP di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.

"Tidak ada keterlambatan terhadap PP maupun Perpres," kata Hatta Rajasa dalam keterangan jumpa persnya di Bandara Halim Perdana Kusuma, Senin, 30 Maret 2009, menggaransi dan menyenagkan sesaat kekawatiran guru.

Kini waktu telah menjelang, tanda-tanda perpres itu akan ditandatangani juga belum jelas. Hampir seluruh kegiatan dan ekspose pemerintah lebih tertuju kepada pilpres. Institusi yang menaungi guru, PB PGRI misalnya saat ini juga kurang terdengar suaranya. Padahal sebelumnya kekawatiran itu sempat menjadi perhatian organisasi hingga pengurus pusat berkirim surat dan menemui langsung SBY di istana Negara.

Benarkah, pemerintah atau SBY tidak sempat untuk menandatangani Perpres. Berapa waktu yang dibutuhkan presiden untuk menandatangani satu perpres. Atau malah draf perpres belum sampai ke tangan presiden.

Dengan kenyataan ini, perlunya kita menimbang kembali, mempertanyakan komitmen dan kepedulian terhadap nasib guru. Ingat kata Bang Haris Budiono mengomentari tulisan saya di situs sosial, facebook tentang siapa capres pilihan guru. Komentarnya, kira-kira begini, Kita punya impian ketiganya ditampilkan untuk mempresentasikan "Konsep Arah Kebijakan Pendidikan Nasional Tahun 2009-2014", bang Imam, setuju bang ?. Tentunya ide itu sangat baik. Tetapi institusi mana yang mau mengundang capres untuk berbicara tentang konsep arah kebijakan pendidikan kita.

Apakah harus PGRI atau organ lain. Jika yang mengundang adalah Depdiknas, tentu dianggap kurang pas, karena dianggap akan ikut-ikutan berpolitik—padahal departemen harus netral. Sementara insitusi lain seperti Kadin dan Seniman/Budayawan telah mengundang ketiga capres-cawapres itu untuk mempresentasikan pemikiran dan kebijakan mereka terhadap kebijakan apabila mereka nantinya terpilih menjadi pemimpin di negeri ini.

Persoalan yang menyangkut guru bukan hanya pada terhambatnya permasalahan tunjangan profesi. Lebih dari itu, masih banyak hal, misalnya guru di daerah masih banyak yang digaji ala kadarnya, status yang tidak jelas dengan istilah yang macam-macam, mulai dari Guru Sukwan, Guru Wiyata Bhakti, Guru Honorer, Guru Bantu, Tutor, Mentor dan sebutan lain sesuai dengan kondisi daerahnya.

Bahwa guru adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Untuk dapat dikatakan guru professional, guru saat ini harus memiliki sertifikat pendidik, minimal S1/D4, dan memiliki 4 kompetensi, yakni pedagogik, professional, kepdribadian dan sosial.
Dengan kompetensi tersebut, guru akan disejajarkan sama dengan profesi lainnya, yakni berhak mendapatkan kesejahteraan, perlindungan dan advokasi terhadap diri dan keluarganya. Dari ketiga capres-cawapres ini, siapa ya…yang peduli akan nasib guru?